Monday, 27 January 2014

Memori di Parmahanan

Aku terlahir sebagai seorang anak petani yang tinggal di pedesaan terpencil di perbukitan samosir beberapa puluh tahun yang silam. "Marmahan" merupakan sebuah rutinitas yang tak terlewatkan atau bisa di bilang sebagai pekerjaan tetap. Bagiku menjadi seorang parmahan bukan sebuah hal memalukan, tapi bisa juga sebagai ajang untuk menguji kesabaran. Karena menurut saya mengawasi kebau-kerbau yang tak punya pikiran sangat membutuhkan kesabaran.


Kali ini aku dan teman-teman separmahanku sudah merencanakan dengan sangat matang kemana kami akan marmahan. Kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya yang di perlukan nantinya di parmahanan, mulai dari kaleng roti, gula pasir 1/2 kg, sendok, pisau dan korek api. Kali ini rencana kami sedikit melenceng dari ajaran agama yang kami anut yaitu perintah yang ke-6 yaitu "Jangan mencuri".Kami nantinya berencana memasak kolak diparmahan. Semua bahan-bahan yang di perlukan sudah kami persiapakan sedemikian rupa. Hanya satu bahan lagi yang perlu kami pikirkan yaitu ubi kayu.


Setelah semuanya beres kami langsung bergegas membawa kerbau kmai masing-masing. Kami menuju sebuah perbukitan yang jaraknya lumayan jauh. Jaraknya tempuhnya kurang lebih 1 jam perjalanan. Nama tempatnya yaitu "SIANDUHUR". Disana rerumputan masih tampak hijau. Sesampainya disana kami langsung melepaskan kerba-kerbau kami ke padang rumput. Kebetulan kami ada sekitar 8 orang. Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar beserta 3 orang lagi sedangkan yang 4 orang lagi sudah duduk dibangku SMP. Tibalah saatnya pembagian kerja. Kami berempat yang masih duduk disekolah dasar bertugas untuk menjaga kerbau agar tidak masuk keladang orang dan mereka sudah SMP berbagi tugas, 2 orang yang menganbil kayu bakar dan 2 orang lagi bertugas untuk mencuri ubi kayu dari ladang tetangga yang berada dekat ke tempat itu. Semua rencana kami berjalan mulus. Mereka sudah tiba di tempat itu dengan selamat dengan meneteng beberapa potong ubi kayu ditangan dengan nafas terengah-engah.


Kami mulai menyalakan api, memotong ubi menjadi potongan kecil kemudian mencucinya dengan bersih dan langsung memasukkannya kedalam kaleng roti yang sudah kami sediakan. Menuggu kolak ubi ala parmahan masak kami menyempatkan diri bermain petak umpet sambil memperhatikan kerbau-kerbau jangan sampai ada yang melarikan diri. Setelah kolaknya matang kami mulai bingung dengan apa kami akan memakannya. Sementara kami tidak membawa piring dari rumah. Akhirnya kami mengambil daun pisang sebagai barang subtitusinya.


Setelah kolaknya matang diaduk, kemudian di campur dengan gula dan langsung di bagikan kedalam daun pisang yang sudah tersedia di depan kami. Rasanya tidak jauh beda dengan kolak-kolak ubi ala restoran terkenal sekaliber Garuda sekalipun. Salah seorang dari kami bertugas untuk menjaga kerbau. Dan diapun harus makan kolak belakangan. Karena saking enaknya kami sampai lupa untuk nyisain sama teman kami itu. Hanya tinggal kerak-keraknya saja. Dia sudah tidak sabar lagi untuk mencicipi kolak ala parmahan. Diapun datang menghampiri kami. Kami semua tersenyum, dia langsung melihat kaleng roti yang sudah kosong dan langsung menangis tersedu-sedu karena dia tidak kebagian sedikitpun. Dia langsung minta pulang. Kami memcoba membujuknya tapi dia sudah merajuk. Dia bilang akan memberitahukan kepada pemilik ladang ubi yang telah kami curi. Kami menjadi takut. kami terus berusaha membujuknya namun tak berhasil dan diapun terus ngotot akan memberitahukan kepada pemilik ladang itu supaya kami semua kena marah. Akhirnya kamipun harus sampai mengancamnya, kalau dia sampai memberitahukannya maka kami akan menghajarnya sampai mampus. Akhirnya dia mau juga mengurungkan niatnya. 


Sambil menunggu matahari terbenam kami bermain bersama, bermain bola dipadang rumput yang hijau. Kami harus menunggu sampai kerbau-kerbau bosan dengan menu hari ini. Setelah matahari mulai lelah memacarkan sinarnya kamipun bergegas pulang kerumah kami masing-masing. Hari ini sangat mengasikkan

dan cukup melelahkan. Beginilah keseharian kami yang memiliki profesi sebagai parmahan walaupun sedikit jahil tapi tidak jahil-jahil amat seperti anak-anak perkotaan yang menamakan mereka dengan sebutan "geng motor" terkenal sadis dan tak punya rasa belas kasihan.sama sekali.

Hidup parmahan,,,

NB: Marmahan=menggembalakan
        Parmahan=Gembala

 









0 comments:

Post a Comment