
Kondisiku yang sekarang mengingatkanku pada keadaanku beberapa tahun silam, tepatnya pada tahun 2004 dimana aku saat itu masih duduk di bangku kelas 1 SMA di salah satu sekolah terbaik di kabupaten langkat. Tak pernah terpikirkan olehku bisa sampai bersekolah kesana. Tempat yang lumayan jauh dari kampung halamanku yaitu samosir.
Saat itu kami lagi libur kenaikan kelas di bulan juni dan aku memustuskan untuk pulang kesamosir. Pulang dengan ongkos pas-passan dari perantauan. Dari sekian jam perjalanan akhirnya akupun sampai dikampung halamanku. Aku mendapatkan pelukan hangat dari kedua orang tuaku yang sudah menunggu kedatanganku. Aku juga sudah sangat merindukan mereka semua. Aku hanya membawa dua bungkus roti unibis sebagai buah tangan yang sebenarnya merekapun tak terlalu mengharapkan itu. karena mereka pasti mengerti aku masih anak sekolahan. Kondisi perekonomian keluarga kami saat itu bisa di bilang sangat berkekurangan. Itu disebabkan karena wabah penyakit tanaman bawang yang merenggut mata pencaharian masyarakat disitu yang menggantungkan hidupnya dengan bertani bawang yang sudah turun temurun sejak dari jaman "Oppung-oppung na parjolo"(Nenek moyang terdahulu). Masyarakat disitu sudah mulai putar otak bagaimana caranya untuk mengatasi masalah tanaman bawang itu. Mereka sudah mencoba menggunakan berbagai macam pestisida pembasmi hama tanaman namun tak jua berhasil. Akhir masyarakat dikampung kami memutuskan untuk beralih ke tanaman kopi ateng atau kami sering menyebutnya dengan nama lainnya yaitu "kopi sigarar utang". Tapi kami harus sabar menunggu satu tahun untuk hasil panen pertama, itupun kalau di urus dengan baik kalau tidak bisa saja sampai 2 atau 3 tahun kemudian.
Melihat kondisi itu aku mulai berpikir, darimana aku akan mendapatkan uang untuk ongkos balik ke langkat kelak?. Aku cuma punya waktu sekitar dua minggu lagi untuk tinggal dikampung ini sebelum aku kembali ke langkat untuk melanjutkan sekolahku. Akhirnya aku memutuskan untuk gaji-gajian ke ladang orang atau sering di sebut "marombo". Tapi aku masih bingung mencari tempat untuk gaji-gajian dan sama siapa aku akan pergi???. Aku mencoba mengajak 2 orang sepupuku anak dari bapa tuaku yang saat itu masih duduk dibangku SMP dan merekapun mau. Sekarang kami harus memikirkan kemana kami akan "marombo". Kalau disekitar kampung ini tidak mungkin, karena masyarakat sekitar kampung kami ini memiliki masalah yang sama. Kamipun mencoba mencari informasi dari tetangga. Dan kami akhirnya menemukan solusinya dari salah satu tetangga kami yang baru saja pulang "marombo" dari limbong dan diapun menyarankan kami untuk gaji-gajian kesana. Tapi yang menjadi masalahnya sekarang adalah ketempat siapa kami akan gaji-gajian?. Kami sama sekali belum pernah ke limbong. "lao ma hamuna tu limbong, baru dokkon hamuna ma annon tu supir ni motor i asa di paturun hamuna di jabuni si Parapat Limbong, nga diboto supir i annon i, attor dipatudu do annon jabunai tu hamuna. Alana ditanda jolma do amantai disi". kata tetangga kami itu. Tanpa berpikir panjang lagi kami langsung mengemas pakaian kedalam tas. Untung masih ada sisa ongkosku kemarin. Jadi aku tak perlu lagi minta dari orang tuaku. Aku hanya minta ijin saja dan kami bertigapun nekat dan kami berangkat.
Saat itu tepat pada hari rabu, pangururan tampak sangat ramai. Kami mencari angkot yang tujuannya ke limbong. Dan akhirnya kamipun menemukannya. Kebetulan angkotnya sudah penuh. Sang supir bertanya kepada kami "naeng tudia do hamuna na tolu?". "hami naeng tu limbong do tulang, naeng tu jabu ni siparapat, ditanda hamu do i?". "bah hutanda do, molo naeng tusi do hamuna, hu patudu pe annon jabuna. Alai naeng marhua hamuna tusi?". "naeng gaji-gajian tulang" sahut kami. Angkotnya pun berangkat dan kami harus rela menggantung samapai kelimbong. Beberapa jam perjalanan akhirnya kamipun sampai dan sang supir langsung menunjukan rumahnya kepada kami. Kami mulai takut karena kami tak mengenalnya sama sekali. Kami berdiri kurang lebih 100 meter dari rumahnya. Kami masih ragu. Apakah kami nanti di terima kerja disini???. Tiba-tiba seorang Bapak yang berperawakan tua, rambutnya sudah memutih keluar dari rumahnya dan memanggil kami. Kamipun mendekat kerumahnya. Bapak itu bertanya kepada kami"Naeng marhua hamuna?", "Naeng gaji-gajian oppung". "oh betama tu jabu masuk ma hamuna". Kemudian Oppung itu menanyakan kami banyak hal, mulai dari nama, huta dan lain sebagainya. Kami akhirnya diterima dan kami cukup senang. Kami nantinya akan di gaji 25ribu perhari bersih dan makan sudah ditanggung 3x sehari.. Saat itu sudah pukul 5 sore dan kami langsung di tes untuk "manggisgis bona ni kopi".
Dan akhirnya malampun tiba, kami bergegas mandi dan makan malam. Kami tidak di perbolehkan nonton sampai larut malam. Keseokan harinya kami harus bangun pukul 6.30, cuci muka dan langsung sarapan. Setelah itu kami langsung ganti pakaian dan membawa cangkul. Hari pertama kami disuruh "manggisgis bona ni kopi", siangnya menggiling kopi dan mencuci kopi. Kesokan harinya kami disuruh "mangkali pege/jahe". Kali ini aku kena marah sama oppung boru karena jahenya banyak yang tercangkul dan Oppung boru itu terlihat marah dan berkata "unang olo ro iba mangula tu juma ni halak molo so niattusan do mangula. Tumagon ma ni paso" katanya. Mendengar perkataannya itu aku langsung down dan rasanya ingin pulang saja. Kedua sepupuku menertawakan aku. Tapi aku harus tetap bertahan. Akhirnya setiap kali ada jahe yang tercangkul olehku, aku langsung membuangnya ke semak-semak supaya oppung boru itu tidak marah. aku mencari jalan aman saja supaya aku bisa tetap disini sampai terkumpul ongkosku nanti pulang ke langkat.
Hari ketiga kami di suruh untuk mangombak balik. Kali in tenaga bakal terkuras habis dan hari ini rasanya sangat capek sekali. Begitulah kami bekerja di ladang Oppung itu selama seminggu. Dan kami memutuskan untuk pulang walaupun sebenarnya Oppung itu belum mengijinkan kami untuk pulang. Terus aku bilang sama Oppung itu kalau aku harus pulang ke langkat besok untuk melanjutkan sekolahku. Akhirnya Oppung itupun mengijinkan kami untuk pulang. Dan Oppung itupun memberikan gaji kami sebesar 150ribu per orang. Dan Oppung itu juga menambahkan 20ribu perorang untuk uang jajan dan ongkos kami. Kami berterima kasih sama oppung itu dan kamipun pamitan untuk pulang,,,
Sesampainya dirumah aku langsung memberikan gajiku kepada ibuku untuk disimpan untuk ongkos nanti. aku masih punya waktu seminggu lagi dikampung untuk membantu orang tua sebelum aku kembali lagi melanjutkan sekolahku. Dalam hidup ini terkadang kita harus nekat apapun itu resikonya yang penting tidak merugikan orang lain Tuhan pasti memberikan jalan terbaik,,,
Mantap pra
ReplyDeletehehehehe
ReplyDeletemauliate pra,,,